phone: +420 776 223 443
e-mail: support@londoncreative.co.uk

Otoritas Sosial



Pendahuluan


Otoritas sosial merupakan bahasan penting dalam sosiologi Islam. Dalam makalah ini akan dibahas dari mulai pengertian otoritas sosial menurut bahasa sampai dengan pengertiannya menurut istilah.
Dalam masyarakat, otoritas sosial memiliki beberapa tipe. Setidaknya ada empat tipe yang akan dibahas, tradisional, karismatik, legal rasional dan campuran.
Dalam makalah ini pun mengangkat sebuah contoh dari pelaku otoritas sosial itu sendiri, yaitu ulama yang merupakan pewaris para nabi dan konsep kharamah sebagai sebuah otoritas.Diakhir makalah kita tutup dengan bahasan hangat tentang isu sertifikasi ulama.


Pengertian otoritas sosial


Secara bahasa otoritas sosial terdiri dari dua kata, otoritas dan sosial. Dalam kamus ilmiah populer kata otoritas memiliki arti kekuasaan.[1] Dengan kata lain otoritas memiliki arti yang sama dengan wewenang. Yaitu adanya kemungkinan dimana seseorang akan ditaati atas dasar suatu kepercayaan dan adanya legitimasi haknya untuk mempengaruhi orang lain.
Otoritas juga memiliki arti sebuah bentuk kekuasaan seseorang atas diri orang lain. Pada waktu seseorang memiliki otoritas, misalnya di dalam lingkup pekerjaan tertentu, maka kekuasaan menjadi mutlak miliknya. Baik itu kekuasaan untuk mengatur, mengontrol atau memutuskan sesuatu. Tentu saja jika digunakan oleh orang yang tidak tepat atau memiliki motivasi yang tidak baik, maka otoritas tersebut tidak berfaedah untuk membangun sebuah sistem malah meruntuhkannya. Bukan hanya itu, otoritas di tangan orang yang tidak tepat, akan dapat disalah gunakan untuk menjajah orang lain, mencari keuntungan sendiri dan menghasilkan perlakuan atau tindakan semena-mena. Betapa baiknya otoritas untuk tujuan yang baik dan betapa buruknya otoritas untuk tujuan yang menyimpang. Otoritas haruslah berada di tangan orang yang tepat, yang mampu menggunakannya secara bertanggung-jawab.
Sedangkan kata sosial dalam kamus yang sama yaitu kamus ilmiah populer diartikan segala sesatu yang mengenai masyarakat.
Dari segi bahasa otoritas memiliki arti kekuasaan atau bentuk kekuasaan seseorang atas diri orang lain. Sedangkan kata sosial secara bahasa yaitu segala sesuatu yang mengenai masyarakat. Sehingga dapat didefinisikan otoritas sosial itu adalah segala bentuk kekuasaan yang terjadi di masyarakat baik dalam lingkup yang sempit maupun dalam lingkup yang luas
.

Macam-macam otoritas sosial dalam masyarakat


(1) Tradisional
Tipe ini berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan penting seseorang taat pada struktur otoritas itu adalah karena kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada. Mereka yang menggunkan otoritas termasuk dalam satu kelompok satus yang secara trdisional menggunakan otoritas atau mereka dipilih sesuai dengan peraturan-peraturan yang dihormati sepanjang waktu.
Hubungan antara tokoh yang memiliki otoritas dan bawahannya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Kunci untuk melihat otoritas tradisional ini yaitu melihatnya sebagai suatu perpanjangan dari hubungan keluarga. Mereka yang patuh memiliki rasa setia pribadi kepada pemimpinnya yang sebaliknya mempunyai kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka.
(2) Karismatik
Yaitu didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi. Otoritas seperti ini lain daripada bentuk yang biasanya. Dalam pandangan Weber, hal ini meliputi karakteristik-karakteristik pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang akan menjadi pengikutnya. Hal ini digambarkannya pada pemimpin-pemimpin agama yang karismatik dimana dasar kepemimpinan mereka adalah kepercayaan bahwa mereka memiliki suatu hubungan khusus dengan yang Ilahi.
(3) Legal rasional
Yaitu komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Tipe ini sangat erat kaitannya dengan rasionalitas instrumental. Orang yang sedang melaksanakan otoritas legal rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang sah didefenisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bawahan tunduk pada otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki itu didefenisikan menurut peraturan sebagai yang harus tunduk dalam bidang-bidang tertentu. Dengan kata lain, peraturan berhubungan dengan posisi serupa itu, bukan dengan orang yang kebetulan menduduki posisi itu.
(4) Campuran
Ketiga pola otoritas diatas adalah tipe-tipe yang idealnya. Akan tetapi kita tidak akan dapat menemukan salah satu diantaranya akan Nampak dalam bentuknya yang murni secara empirik. Sebaliknya dalam banyak hal hubungan otoritas dalam kehidupan yang ril cenderung mencerminkan tingkat-tingkat yang berbeda dari ketiga tipe itu.

Ulamak  sebagai otoritas: pewaris para nabi


1.      Definisi dan urgensi kehadiran ulama
Kata ulama berasal dari bahasa arab ‘alim, yaituorang yang memiliki ilmu. Sedangkan para ahli tafsir memaknai orang ‘alim, sebagai orang yang takut kepada allah swt.[2]  Orang yang tidak takut kepada allah maka dia tidak layak di sebut sebagai seorang ‘alim, dalam al-qur’an , kata alim di ulangi sebayak 107 kali, aliman 22 kali dan al-alim 22 kali, sehingga jumlah keseluruhan 151 kali. Kesemuanya itu berhubungan dengan sifat allah yang maha mengetahui. Sedangkan kata alimun dan alim yang berarti orang-orang yang mempunyai pengetahuan, juga disebut beberapa kali.
Sedangkan kata ulama hanya disebut dua kali  yakni pertama pada surat al-syu’ara ayat 197 yang menjelaskan tentang ulama bani israil yang mengetahui kebenaran al-qur’an sebagai kalamullah. Yang kedua pada surat fathir ayat 28, yang diawali denganinformasi tentang ayat-ayat kauniyah yang berterbangan di alam jagat raya ini.
Sedangkan menurut shaleh iskandar ulama adalah insan pengabdi allah, pewaris dan pelanjut Rasul Allah swt yang mendapat anugrah hidayatullah, menjadi penguasa ilmu agama dan memiliki akhlak al-karimah yang uswah al-hasanah sebagai imamah, pelopor, penggerak, penegak, pendidik, pejabat, pengamal, penyebar, pengawal, dan pembela agama Allah swt.
Sedangkan pendapat Shalahuddin sanusi, ulama adalah pewaris ilmu dan kebijaksanaan serta penerus kepemimpinandan perjuangan nabi Muhammad swt.
Harapan kepada ulama itu, karena ulama bisa membimbing dan menuntun umat ke jalan yang terang dan jelas ke arah yang benar. Kata Hasan al- basri adalah
a. Ulama benar-benar menjadi pelita (penerang) umatnya.
b. Ulama memiliki sifat ksederhanaan dan ikhlas , memiliki sikap jiwa yang kuat dan teguh yaitu  “kekuatan khasyatuh”, yakni kepada allah dengan haqqulyaqin.
c. Ulama adalah pewaris para nabi, mengikuti sunnah nabi dengan taat yakin dan mantap.
d. Ulama tampil sebagai pemimpin dengan uswah hasanah, dengan contoh teladan bertaqwa dan istiqomah hanya kepada allah swt, tidak bergoyang dan bergoncang karena situasi dan kondisi lingkungan yang berubah.
e. Ulama ikhlas dan rela tampil menegakkan syiar Islam, berjuang hanya mencari ridha Allah swt. [3]
Rasulullah bersabda “termasuk tanda-tanda kiamat adalah mencari ilmu dari orang-orang kerdil (sedikit ilmunya) (HR. Ibnu mubarak dari sahabat abu umayyah al jumhira)

Konsep kharamah sebagai sebuah otoritas


Istilah kharamah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan.
Kharamah ialah suatu perkara yang mencakup ucapan dan perbuatan yang telah melanggar dari adat kebiasaan manusia, yang selamat dari berbagai sanggahan (hal-hal yang membatalkannya) yang Allah berikan kepada hambanya yang shalih.
Syaihul Islam Ibnu taimiyyah mengatakan: “dan termansuk dari prinsip ahlus sunnah wal jama’ah meyakini adanya kharamah para wali dan apa-apa yang allah perbuat dari keluarbiasaan melalui tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat(mengetahui hal yang tersembuyi), bermacam-macam keluarbiasaan,atau pengaruh-pengaruh.”[4]
Karomah ini tetap ada sampai akhir zaman dan terjadi pada umat ini lebih banyak daripada umat-umat sebelumnya, yang demikian itu menunjukan keridhoan Allah terhadap hamba-Nya dan sebagai pertolongan baginya dalam urusan dunianya atau agamanya. Namun bukan berarti Allah benci terhadap orang-orang yang tidak terjadi Karomah padanya.
Perkara “Karomah” ini telah tsabit (tetap) secara nash baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah bahkan juga secara kenyataan
Ada seorang ilmuan berpendapat yaitu Abou El-Fadl, otoritas terbuka untuk wacana, debat, ketidaksetujuan. Otoritas penafsir teks-teks keagamaan (reader), menurut Abou El-Fadl, setidaknya mempunyai otoritas persuasif, yaitu otoritas “wakil khusus” (ahli huukm Islam atau fuqaha’), dan bukan otoritas koersif (paksaan) atau otoriter.
Untuk mencapai otoritas persuasif, menurut Abou El-Fadl,seseorang harus memenuhi lima kriteria, yaitu:
1.      Kejujuran (honesty)
2.      Kesungguhan (delligency)
3.      Pengendalian diri (self-restraint)
4.      Kemenyuluruhan (comprehensiveness)
5.      Rasionalitas (reasonableness)
Abou El-Fadl, membangun konsep otoritas dengan doktrin kedaulatan Tuhan dan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga nabi sebagai pemegang otorotas kedua setelah Tuhan. Setelah wafat, beliau meninggalkan tradisinya berupasunnah yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini terjadi proses pengalihan “suara” Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Qur’an (mushaf) dan kitab-kitab sunnah.
Setelah periode ini kemudian muncul fuqaha’ yang meneruskan warisan ini, sehingga lahirlah imam-imam mazhab yang mempunyai otoritas dalam penerapan dan penggalian hukum yang kemudian melahirkan varian mekanisme ijtihad, seperti al-qiyas, al-ijma’, masalih al mursalah, syar’ man qablana dan seterusnya.

Wacana Sertifikasi Ulama[5]


Dalam waca sertifikasi ulama ini muncul pihak – pihak tertentu. Pertama pihak pro yang menilai baik,  dan kedua pihak kontra yang menilai kurang baik tentang wacana ini.
1.      Pihak pro
Adapun pihak pro yaitu dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang menggulirkan wacana sertifikasi terhadap para da'i dan ulama. Adapun tujuan mereka sebagai mana yang dikatakan Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris dalam diskusi Sindo radio adalah Dengan adanya sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi. Usulan BNPT ingin rupanya ingin meniru negara Singapura dan Arab Saudi yang menerapkan hal tersebut. Gaung sertifikasi ulama yang dianggap langkah tersebut bisa dijadikan antisipasi gerakan radikal seperti terorisme seperti sudah dijalankan di beberapa negara, seperti Singapura dan Arab Saudi. Inilah  asal mula ada waacana sertifikasi ulama.
Usul BNPT ini senada dengan lontaran Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina, yang agar Kementerian Agama melakukan sertifikasi ulama sehingga mempunyai kredibilitas yang tinggi. Dia berkata “Jika dosen dan guru pun bisa disertifikasi, apakah tidak mungkin juga dilakukan bagi ulama, Menurutnya, ide sertifikasi ulama ini dianggap penting karena melihat kecenderungan Islam di Indonesia saat ini mengarah pada radikalisme”. Tidak jarang ulama yang ada di Indonesia memiliki kredibilitas yang rendah. Sehingga dakwah yang disampaikanpun kualitasnya sangat rendah. Mereka kurang bisa menginterpretasi dengan baik ajaran-ajaran Islam. Saya pikir untuk mengatasi hal ini barangkali perlu diadakan semacam sertifikasi ulama.
Pengasuh pondok pesantren Ummul Quro Pondok Cabe, Tanggerang selatan Kh Syarif Rahmat berpendapat pentingnya sertifikasi ulama di Indonesia terkait menghadang paham terorisme melalui saluran kegamaan. ia juaga menekankan dalam pelaksanaan sertifikasi ulama harus dilakukan secara jujur dan transparan.
2.      Pihak kontra
Adapun diantara pihak yang kontra tentunya dari beberapa pihak yang terkemuka di kalangan masyarakat. Diantaranya, Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ma’ruf Amin menegaskan predikat ulama didapat dari pengakuan masyarakat, bukan pemerintah. Seseorang disebut ulama jika diakui masyarakat. Beliau mengatakan "Untuk apa sertifikasi seperti ini? Sertifikat ulama ini dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Jadi, tidak perlu sertifikasi seperti itu”.  Kyai Ma’ruf justru mempertanyakan efektifitas institusi pemerintah yang menanggulangi kasus terorisme. MUI menganggap sudah ada institusi pemerintah yang menanggulanginya. Tapi saya tidak tahu institusi itu sekarang efektif atau tidak”.
Ketua Mahkamah Konstitusi juga menilai sertifikasi ulama sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hal ini disampaikan Mahfud seusai menyampaikan orasi ilmiahnya dalam Dies Natalis 56 Tahun Universitas Hasanuddin, di Makassar pada tahun 2012. Penolakan juga disampaikan Muhammadiyah. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti . Mahfud MD juga sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia mengatakan “Sertifikasi ustadz itu berbahaya, di dalam Islam siapa pun dapat menjadi ustadz, orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah, saya sangat tidak setuju, negara malah menekan rakyatnya, bukan melindunginya. Ini melanggar HAM dan harus kita lawan, ini lebih orde baru dari orde baru,” Mahfud menambahkan, wacana sertifikasi yang akan dilakukan BNPT ini akan mengidentikkan ulama atau ustadz dengan teroris. Padahal, lanjut Mahfud, di Indonesia sangat banyak ustadz yang nasionalis. Apalagi jika sertifikasi ustadz tersebut dilakukan oleh polisi.
Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI). Menurut Habib Rizieq, usulan Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, itu bukan hanya menghina ulama bahkan termasuk penistaan terhadap Islam. Beliau mengatakan kepada Suara Islam Online tahun 2012 “Usulan Sosiolog Unas dan rencana BNPT tentangg perlunya sertifikasi ulama dengan motivasi deradikalisasi Agama Islam adalah penghinaan terhadap ulama, bahkan penistaan terhadap agama Islam,” Menurut kandidat doktor syariah Universitas Malaya, Malaysia itu, saat ini BNPT sudah kebablasan. Mereka dinilai tidak paham kesucian agama Islam dan tidak tahu kemuliaan ulamanya.
Habib Muhammad Rizieq Syihab juga berkata  “Saya serukan segenap ulama untuk menolak keras usulan gila dan rencana edan tersebut. Dan saya serukan segenap umat Islam untuk siapkan diri melawan BNPT dan Densus 88-nya jika mereka menjadikan Islam dan Ulamanya sebagai musuh. Hidup Mulia atau Mati Syahid. Allahu Akbar!”.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) di DPR, Indra, mengecam konsep sertifikasi ulama yang disusulkan BNPT. Dia menjelaskan, sebutan atau gelar kyai, ustadz, buya, tuan guru dan lainnya bagi ulama adalah gelar yang disematkan masyarakat sebagai bentuk pengakuan serta penghormatan kepada seseorang yang dinilai dan diakui keilmuan agamanya. Jadi tak tepat apabila pemerintah menentukan seseorang pantas atau tidak, berhak atau tidak berhak menyandang gelar ulama melalui sertifikasi". Ini semacam kekalutan BNPT ketika menghadapi fenomena teror. Dan logika sertifikasi secara eksplisit sebenarnya upaya menyudutkan Islam, seolah-olah siar Islam yang disampaikan para ulama mrpkn sumber munculnya teorisme.
Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten mengaakan H AM Romly menegaskan  "Kami sependapat dengan pernyataan MUI Pusat, bahwa wacana usulan sertifikasi ulama itu tidak tepat, apa kriteria dan standarnya, lalu siapa yang harus melakukan sertifikasinya,"  Pihaknya menilai usulan yang diwacanakan seorang pejabat BNPT tersebut tidak tepat, karena ulama tidak bisa disamakan dengan para guru yang harus disertikasi, karena susah untuk mengukur standar sertifikasi dan lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi untuk para ulama dan kyai.Kalau guru disertifikasi jelas ada undang-undangnya, kalau ulama dan kyai lembaga mana yang akan melakukan sertifikasi,".  Ulama bukan seperti guru (penanda profesi) ataupun obat ( berdasarkan kualitas). Bila ulama dijadikan objek penilaian kelayakan berkenaan tentang pemantapan ilmu agamanya, terus siapa yang akan menjadi juru penilai.
Penolakan juga disampaikan Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Bulak Santri, Cipondoh, Yusuf Mansur. Beliau berkata “Persoalannya yang mengsertifikasi itu siapa, siapa sih yang pengen gelar manusia,” Menurutnya, sebutan ulama tersebut sebenarnya datang dari masyarakat yang dilekatkan kepada orang yang memahami, mengamalkan, dan mengajarkan agama Islam. “Menurut saya jadi masalah itu bukan minta pengakuan. Ulama itu dilekatkan.
3.      Problema sertifikasi ulama
Pertama, ulama secara formal bukanlah bagian dari aparatur Negara. Pemuka agama, ulama, kiai atau apapun istililahnya adalah sosok yang dinobatkan oleh masyarakat. Di sini penyemat “gelar” tersebut adalah masyarakat bukan pemerintah. KH. Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU menyatakan bahwasanya ulama atau kiai adalah milik masyarakat bukan Negara. kedua, dari segi kuantitas, sangatlah sulit mengidentifikasi kiayi atau ulama, mereka tersebar di seluruh penjuru nusantara, jumlah pemuka agama Islam luar biasa jumlahnya. Bila ulama ini kita batasi pda kiayi mushalla atau surau maka jumlahnya bisa jdi 5 kali lipat dengan jumlah surau yang tersebar di seluruh nusantara. Rasionya, hamper setiap desa berpenduduk muslim, setidaknya memiliki 10 – 20 mushollah setiap desa.
Ketiga, sertifikasi harus berimplikasi pada pemberian hak. Kalau kita analogikan dengan guru, maka harus ada tunjangan terhadap profesi yang diberikan kepada ulama. Hal ini bukan hanya berimplikasi pada administrasi dan keuangan Negara, tetapi juga orientasi dakwah ulama. Selama ini banyak ulama yang mempunyai prinsip ikhlas dan pengabdian. Jika sertifikasi ini dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan menggeser niat dan orientasi dakwah Islam.
Adapun Sisi positifnya, bisa menyeleksi mana yang ulama beneran mana yang tidak. Sedangkan Sisi negatifnya, (1) akan membuka peluang sertifikasi sebagai kontrol dari institusi tertentu kepada pemuka agama. Ulama akan diberi sertifikat oleh institusi tertentu. Lantas, bagaimana dengan ulama yang tidak memiliki sertifikat. (2) semakin memperkeruh hubungan antara kelompok ulama dengan pemerintah. Sebagaiman yang dinyatakan Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FU7UI), KH Athian Ali M Da’i menilai ide tersebut. (3)  Dengan ide itu seakan-akan para ulama menjadi dalang dari adanya aksi terorisme di Indonesia, kata Athian Ali. (4) akan timbul kerusuhan, karena selama ini para ulama sudah bersabar sekian lama karena kerap dituding terlibat dalam kasus-kasus terorisme di Indonesia. Kemudian muncul ide harus diadakannya sertifikasi bagi para ulama dari BNPT, menurutnya sudah sangat menghina dan melecehkan para ulama.
Adapun solusinya untuk menekan radikalisme dan terorisme diantaranya melalui penegakan hukum, peningkatan pengetahuan, pendidikan, kesejahteraan.

Kesimpulan


Otoritas sosial memilki arti secara bahasa dan istilah, secara bahasa terdiri dari dua kata otoritas yang berarti kekuasaan dan sosial yang berarti segala sesatu yang mengenai masyarakat. Sedangkan menurut istilah adalah segala bentuk kekuasaan yang terjadi di masyarakat baik dalam lingkup yang sempit maupun dalam lingkup yang luas.
Otoritas sosial dalam masyarakat memiliki berbagai macam diantaranya, tradisional, karismatik, legal rasional dan campuran.
Ulama sebagai otoritas: pewaris para nabi karena mereka memiliki karakteria yang sesuai dengan syariat Islam yang di bawa oleh para nabi.
Kharamah merupakan salah satu konsep otoritas sebab kharamah hanya di miliki atau di berikan kepada orang-orang shaleh dan yang sekaligus mereka sebagai pewaris para nabi.
            Wacana sertifikasi ulama ternyata menuai pro dan kontra, berikut ini adalah alasan-alasan dari pihak yang dan yang kontra;
1. Alasan adanya pro :
- Pro karena pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi
- bisa dijadikan antisipasi gerakan radikal seperti terorisme
- menghadang paham terorisme melalui saluran kegamaan
2. Alasan adanya kontra : predikat ulama didapat dari pengakuan masyarakat, bukan pemerintah. Seseorang disebut ulama jika diakui masyarakat, sebagai bentuk pelanggaran HAM, di dalam Islam siapa pun dapat menjadi ustadz, orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah, mengidentikkan ulama atau ustadz dengan teroris., Dia menjelaskan, sebutan atau gelar kyai, ustadz, buya, tuan guru dan lainnya bagi ulama adalah gelar yang disematkan masyarakat sebagai bentuk pengakuan serta penghormatan kepada seseorang yang dinilai dan diakui keilmuan agamanya, Yang berhak memberikan sertifikasi adalah Allah dan Rasunya. Persoalannya yang mengsertifikasi itu siapa, siapa sih yang pengen gelar manusia, Jika sertifikasi ini dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan menggeser niat dan orientasi dakwah Islam.
3. Problema sertifikasi ulama, Pertama, ulama secara formal bukanlah bagian dari aparatur Negara. kedua, dari segi kuantitas, sangatlah sulit mengidentifikasi kiayi atau ulama, mereka tersebar di seluruh penjuru nusantara, jumlah pemuka agama Islam luar biasa jumlahnya. Ketiga, sertifikasi harus berimplikasi pada pemberian hak.


adakah istilah otoritas dalam Islam?
bentuk otoritas yang mana yang idela menurut Islam?
suatu organisasi akan rusak bilamana tidak berpegang teguh pada Islam
karamah??

siapa yang memulai? yang melatar belakangi sertifikasi ulama?


[1] Darmawan Hendro, dkk, Kamus ilmiah populer lengkap, Yogyakarta:Bintang cemerlang, 2010,hlm.519.
[2] Pendapat Mujahid dan as-Sya’abi
[3] Ramlan Mardjonet, KH.hasan basri 70 tahun, fungsi ulama dan peranan masjid, jakarta:media dakwah, 1990,hlm.172-173.
[4] syarah aqidah wasithiyah hlm:207

0 komentar: