Otoritas Sosial
Pendahuluan
Otoritas sosial
merupakan bahasan penting dalam sosiologi Islam. Dalam makalah ini akan dibahas
dari mulai pengertian otoritas sosial menurut bahasa sampai dengan
pengertiannya menurut istilah.
Dalam
masyarakat, otoritas sosial memiliki beberapa tipe. Setidaknya ada empat tipe
yang akan dibahas, tradisional, karismatik, legal rasional dan campuran.
Dalam makalah
ini pun mengangkat sebuah contoh dari pelaku otoritas sosial itu sendiri, yaitu
ulama yang merupakan pewaris para nabi dan konsep kharamah sebagai sebuah
otoritas.Diakhir makalah kita tutup dengan bahasan hangat tentang isu
sertifikasi ulama.
Pengertian otoritas sosial
Secara bahasa otoritas sosial terdiri dari dua kata, otoritas dan
sosial. Dalam kamus ilmiah populer kata otoritas memiliki arti kekuasaan.[1] Dengan
kata lain otoritas memiliki arti yang sama dengan wewenang. Yaitu adanya
kemungkinan dimana seseorang akan ditaati atas dasar suatu kepercayaan dan
adanya legitimasi haknya untuk mempengaruhi orang lain.
Otoritas juga memiliki arti sebuah bentuk kekuasaan seseorang atas
diri orang lain. Pada waktu seseorang memiliki otoritas, misalnya di dalam
lingkup pekerjaan tertentu, maka kekuasaan menjadi mutlak miliknya. Baik itu
kekuasaan untuk mengatur, mengontrol atau memutuskan sesuatu. Tentu saja jika
digunakan oleh orang yang tidak tepat atau memiliki motivasi yang tidak baik,
maka otoritas tersebut tidak berfaedah untuk membangun sebuah sistem malah
meruntuhkannya. Bukan hanya itu, otoritas di tangan orang yang tidak tepat, akan
dapat disalah gunakan untuk menjajah orang lain, mencari keuntungan sendiri dan
menghasilkan perlakuan atau tindakan semena-mena. Betapa baiknya otoritas untuk
tujuan yang baik dan betapa buruknya otoritas untuk tujuan yang menyimpang.
Otoritas haruslah berada di tangan orang yang tepat, yang mampu menggunakannya
secara bertanggung-jawab.
Sedangkan kata sosial dalam kamus yang sama yaitu kamus ilmiah
populer diartikan segala sesatu yang mengenai masyarakat.
Dari segi bahasa otoritas memiliki arti kekuasaan atau bentuk
kekuasaan seseorang atas diri orang lain. Sedangkan kata sosial secara bahasa
yaitu segala sesuatu yang mengenai masyarakat. Sehingga dapat didefinisikan
otoritas sosial itu adalah segala bentuk kekuasaan yang terjadi di masyarakat
baik dalam lingkup yang sempit maupun dalam lingkup yang luas
.Macam-macam otoritas sosial dalam masyarakat
(1) Tradisional
Tipe ini berlandaskan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap
kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan
otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan penting seseorang taat pada struktur
otoritas itu adalah karena kepercayaan mereka bahwa hal itu sudah selalu ada.
Mereka yang menggunkan otoritas termasuk dalam satu kelompok satus yang secara
trdisional menggunakan otoritas atau mereka dipilih sesuai dengan
peraturan-peraturan yang dihormati sepanjang waktu.
Hubungan antara tokoh yang memiliki otoritas dan bawahannya pada
dasarnya merupakan hubungan pribadi. Kunci untuk melihat otoritas tradisional
ini yaitu melihatnya sebagai suatu perpanjangan dari hubungan keluarga. Mereka
yang patuh memiliki rasa setia pribadi kepada pemimpinnya yang sebaliknya
mempunyai kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka.
(2) Karismatik
Yaitu didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu
sebagai seorang pribadi. Otoritas seperti ini lain daripada bentuk yang
biasanya. Dalam pandangan Weber, hal ini meliputi karakteristik-karakteristik
pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang akan menjadi pengikutnya. Hal
ini digambarkannya pada pemimpin-pemimpin agama yang karismatik dimana dasar
kepemimpinan mereka adalah kepercayaan bahwa mereka memiliki suatu hubungan
khusus dengan yang Ilahi.
(3) Legal rasional
Yaitu komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan
secara resmi dan diatur secara impersonal. Tipe ini sangat erat kaitannya
dengan rasionalitas instrumental. Orang yang sedang melaksanakan otoritas legal
rasional adalah karena dia memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan
yang sah didefenisikan sebagai memiliki posisi otoritas. Bawahan tunduk pada
otoritas karena posisi sosial yang mereka miliki itu didefenisikan menurut
peraturan sebagai yang harus tunduk dalam bidang-bidang tertentu. Dengan kata
lain, peraturan berhubungan dengan posisi serupa itu, bukan dengan orang yang
kebetulan menduduki posisi itu.
(4) Campuran
Ketiga pola otoritas diatas adalah tipe-tipe yang idealnya. Akan
tetapi kita tidak akan dapat menemukan salah satu diantaranya akan Nampak dalam
bentuknya yang murni secara empirik. Sebaliknya dalam banyak hal hubungan
otoritas dalam kehidupan yang ril cenderung mencerminkan tingkat-tingkat yang
berbeda dari ketiga tipe itu.
Ulamak sebagai otoritas: pewaris para nabi
1.
Definisi dan urgensi kehadiran ulama
Kata ulama berasal dari bahasa arab ‘alim, yaituorang yang
memiliki ilmu. Sedangkan para ahli tafsir memaknai orang ‘alim, sebagai
orang yang takut kepada allah swt.[2] Orang yang tidak takut kepada allah maka dia
tidak layak di sebut sebagai seorang ‘alim, dalam al-qur’an , kata alim di
ulangi sebayak 107 kali, aliman 22 kali dan al-alim 22 kali, sehingga jumlah
keseluruhan 151 kali. Kesemuanya itu berhubungan dengan sifat allah yang maha
mengetahui. Sedangkan kata alimun dan alim yang berarti orang-orang yang
mempunyai pengetahuan, juga disebut beberapa kali.
Sedangkan kata ulama hanya disebut dua kali yakni pertama pada surat al-syu’ara ayat 197
yang menjelaskan tentang ulama bani israil yang mengetahui kebenaran al-qur’an
sebagai kalamullah. Yang kedua pada surat fathir ayat 28, yang diawali
denganinformasi tentang ayat-ayat kauniyah yang berterbangan di alam jagat raya
ini.
Sedangkan menurut shaleh iskandar ulama adalah insan pengabdi allah,
pewaris dan pelanjut Rasul Allah swt yang mendapat anugrah hidayatullah,
menjadi penguasa ilmu agama dan memiliki akhlak al-karimah yang uswah
al-hasanah sebagai imamah, pelopor, penggerak, penegak, pendidik, pejabat,
pengamal, penyebar, pengawal, dan pembela agama Allah swt.
Sedangkan pendapat Shalahuddin sanusi, ulama adalah pewaris ilmu
dan kebijaksanaan serta penerus kepemimpinandan perjuangan nabi Muhammad swt.
Harapan kepada ulama itu, karena ulama bisa membimbing dan menuntun
umat ke jalan yang terang dan jelas ke arah yang benar. Kata Hasan al- basri
adalah
a. Ulama benar-benar menjadi pelita (penerang) umatnya.
b. Ulama memiliki sifat ksederhanaan dan ikhlas , memiliki sikap
jiwa yang kuat dan teguh yaitu “kekuatan
khasyatuh”, yakni kepada allah dengan haqqulyaqin.
c. Ulama adalah pewaris para nabi, mengikuti sunnah nabi dengan
taat yakin dan mantap.
d. Ulama tampil sebagai pemimpin dengan uswah hasanah, dengan
contoh teladan bertaqwa dan istiqomah hanya kepada allah swt, tidak bergoyang
dan bergoncang karena situasi dan kondisi lingkungan yang berubah.
e. Ulama ikhlas dan rela tampil menegakkan syiar Islam, berjuang
hanya mencari ridha Allah swt. [3]
Rasulullah bersabda “termasuk tanda-tanda kiamat adalah mencari
ilmu dari orang-orang kerdil (sedikit ilmunya) (HR. Ibnu mubarak dari
sahabat abu umayyah al jumhira)
Konsep kharamah sebagai sebuah otoritas
Istilah kharamah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa
berarti mulia. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan
dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya
kepada Tuhan.
Kharamah ialah suatu perkara yang mencakup ucapan dan perbuatan
yang telah melanggar dari adat kebiasaan manusia, yang selamat dari berbagai
sanggahan (hal-hal yang membatalkannya) yang Allah berikan kepada hambanya yang
shalih.
Syaihul Islam Ibnu taimiyyah mengatakan: “dan termansuk dari
prinsip ahlus sunnah wal jama’ah meyakini adanya kharamah para wali dan
apa-apa yang allah perbuat dari keluarbiasaan melalui tangan-tangan mereka baik
yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat(mengetahui hal yang tersembuyi),
bermacam-macam keluarbiasaan,atau pengaruh-pengaruh.”[4]
Karomah ini tetap ada sampai akhir zaman dan terjadi pada umat ini
lebih banyak daripada umat-umat sebelumnya, yang demikian itu menunjukan
keridhoan Allah terhadap hamba-Nya dan sebagai pertolongan baginya dalam urusan
dunianya atau agamanya. Namun bukan berarti Allah benci terhadap orang-orang
yang tidak terjadi Karomah padanya.
Perkara “Karomah” ini telah tsabit (tetap) secara nash baik
dalam Al Qur’an maupun Sunnah bahkan juga secara kenyataan
Ada seorang ilmuan berpendapat yaitu Abou El-Fadl, otoritas terbuka
untuk wacana, debat, ketidaksetujuan. Otoritas penafsir teks-teks keagamaan
(reader), menurut Abou El-Fadl, setidaknya mempunyai otoritas persuasif, yaitu
otoritas “wakil khusus” (ahli huukm Islam atau fuqaha’), dan
bukan otoritas koersif (paksaan) atau otoriter.
Untuk mencapai otoritas persuasif, menurut Abou El-Fadl,seseorang
harus memenuhi lima kriteria, yaitu:
1. Kejujuran (honesty)
2. Kesungguhan
(delligency)
3. Pengendalian diri
(self-restraint)
4. Kemenyuluruhan
(comprehensiveness)
5. Rasionalitas
(reasonableness)
Abou El-Fadl, membangun konsep otoritas dengan doktrin kedaulatan
Tuhan dan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui kalam-Nya yang
telah tertulis. Demikian juga nabi sebagai pemegang otorotas kedua setelah
Tuhan. Setelah wafat, beliau meninggalkan tradisinya berupasunnah yang telah
terkodifikasi. Pada konteks ini terjadi proses pengalihan “suara” Tuhan dan
Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Qur’an (mushaf) dan kitab-kitab
sunnah.
Setelah periode ini kemudian muncul fuqaha’ yang meneruskan warisan
ini, sehingga lahirlah imam-imam mazhab yang mempunyai otoritas dalam penerapan
dan penggalian hukum yang kemudian melahirkan varian mekanisme ijtihad, seperti
al-qiyas, al-ijma’, masalih al mursalah, syar’ man qablana dan seterusnya.
Wacana Sertifikasi Ulama[5]
Dalam waca sertifikasi ulama ini muncul pihak – pihak tertentu.
Pertama pihak pro yang menilai baik, dan
kedua pihak kontra yang menilai kurang baik tentang wacana ini.
1. Pihak
pro
Adapun pihak pro yaitu dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris
(BNPT) yang menggulirkan wacana sertifikasi terhadap para da'i dan ulama.
Adapun tujuan mereka sebagai mana yang dikatakan Direktur Deradikalisasi BNPT,
Irfan Idris dalam diskusi Sindo radio adalah Dengan adanya sertifikasi, maka
pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam
menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi. Usulan BNPT ingin
rupanya ingin meniru negara Singapura dan Arab Saudi yang menerapkan hal
tersebut. Gaung sertifikasi ulama yang dianggap langkah tersebut bisa dijadikan
antisipasi gerakan radikal seperti terorisme seperti sudah dijalankan di
beberapa negara, seperti Singapura dan Arab Saudi. Inilah asal mula ada waacana sertifikasi ulama.
Usul BNPT ini senada dengan lontaran Sosiolog Universitas Nasional,
Nia Elvina, yang agar Kementerian Agama melakukan sertifikasi ulama sehingga
mempunyai kredibilitas yang tinggi. Dia berkata “Jika dosen dan guru pun bisa
disertifikasi, apakah tidak mungkin juga dilakukan bagi ulama, Menurutnya, ide
sertifikasi ulama ini dianggap penting karena melihat kecenderungan Islam di
Indonesia saat ini mengarah pada radikalisme”. Tidak jarang ulama yang ada di
Indonesia memiliki kredibilitas yang rendah. Sehingga dakwah yang
disampaikanpun kualitasnya sangat rendah. Mereka kurang bisa menginterpretasi
dengan baik ajaran-ajaran Islam. Saya pikir untuk mengatasi hal ini barangkali
perlu diadakan semacam sertifikasi ulama.
Pengasuh pondok pesantren Ummul Quro Pondok Cabe, Tanggerang
selatan Kh Syarif Rahmat berpendapat pentingnya sertifikasi ulama di Indonesia
terkait menghadang paham terorisme melalui saluran kegamaan. ia juaga
menekankan dalam pelaksanaan sertifikasi ulama harus dilakukan secara jujur dan
transparan.
2. Pihak
kontra
Adapun diantara pihak yang kontra tentunya dari beberapa pihak yang
terkemuka di kalangan masyarakat. Diantaranya, Ketua Komisi Fatwa MUI, KH.
Ma’ruf Amin menegaskan predikat ulama didapat dari pengakuan masyarakat, bukan
pemerintah. Seseorang disebut ulama jika diakui masyarakat. Beliau mengatakan
"Untuk apa sertifikasi seperti ini? Sertifikat ulama ini dari masyarakat,
bukan dari pemerintah. Jadi, tidak perlu sertifikasi seperti itu”. Kyai Ma’ruf justru mempertanyakan efektifitas
institusi pemerintah yang menanggulangi kasus terorisme. MUI menganggap sudah
ada institusi pemerintah yang menanggulanginya. Tapi saya tidak tahu institusi
itu sekarang efektif atau tidak”.
Ketua Mahkamah Konstitusi juga menilai sertifikasi ulama sebagai
bentuk pelanggaran HAM. Hal ini disampaikan Mahfud seusai menyampaikan orasi
ilmiahnya dalam Dies Natalis 56 Tahun Universitas Hasanuddin, di Makassar pada
tahun 2012. Penolakan juga disampaikan Muhammadiyah. Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti . Mahfud MD juga sebagai Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia mengatakan “Sertifikasi ustadz itu
berbahaya, di dalam Islam siapa pun dapat menjadi ustadz, orang yang mengerti
satu ayat saja diharuskan berdakwah, saya sangat tidak setuju, negara malah
menekan rakyatnya, bukan melindunginya. Ini melanggar HAM dan harus kita lawan,
ini lebih orde baru dari orde baru,” Mahfud menambahkan, wacana sertifikasi
yang akan dilakukan BNPT ini akan mengidentikkan ulama atau ustadz dengan
teroris. Padahal, lanjut Mahfud, di Indonesia sangat banyak ustadz yang nasionalis.
Apalagi jika sertifikasi ustadz tersebut dilakukan oleh polisi.
Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI). Menurut Habib Rizieq,
usulan Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, itu bukan hanya menghina
ulama bahkan termasuk penistaan terhadap Islam. Beliau mengatakan kepada Suara
Islam Online tahun 2012 “Usulan Sosiolog Unas dan rencana BNPT tentangg
perlunya sertifikasi ulama dengan motivasi deradikalisasi Agama Islam adalah
penghinaan terhadap ulama, bahkan penistaan terhadap agama Islam,” Menurut kandidat
doktor syariah Universitas Malaya, Malaysia itu, saat ini BNPT sudah
kebablasan. Mereka dinilai tidak paham kesucian agama Islam dan tidak tahu
kemuliaan ulamanya.
Habib Muhammad Rizieq Syihab juga berkata “Saya serukan segenap ulama untuk menolak keras
usulan gila dan rencana edan tersebut. Dan saya serukan segenap umat Islam
untuk siapkan diri melawan BNPT dan Densus 88-nya jika mereka menjadikan Islam
dan Ulamanya sebagai musuh. Hidup Mulia atau Mati Syahid. Allahu Akbar!”.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) di DPR, Indra,
mengecam konsep sertifikasi ulama yang disusulkan BNPT. Dia menjelaskan,
sebutan atau gelar kyai, ustadz, buya, tuan guru dan lainnya bagi ulama adalah
gelar yang disematkan masyarakat sebagai bentuk pengakuan serta penghormatan
kepada seseorang yang dinilai dan diakui keilmuan agamanya. Jadi tak tepat
apabila pemerintah menentukan seseorang pantas atau tidak, berhak atau tidak
berhak menyandang gelar ulama melalui sertifikasi". Ini semacam kekalutan
BNPT ketika menghadapi fenomena teror. Dan logika sertifikasi secara eksplisit
sebenarnya upaya menyudutkan Islam, seolah-olah siar Islam yang disampaikan
para ulama mrpkn sumber munculnya teorisme.
Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten mengaakan H AM Romly
menegaskan "Kami sependapat dengan
pernyataan MUI Pusat, bahwa wacana usulan sertifikasi ulama itu tidak tepat,
apa kriteria dan standarnya, lalu siapa yang harus melakukan
sertifikasinya," Pihaknya menilai
usulan yang diwacanakan seorang pejabat BNPT tersebut tidak tepat, karena ulama
tidak bisa disamakan dengan para guru yang harus disertikasi, karena susah
untuk mengukur standar sertifikasi dan lembaga yang berwenang melakukan
sertifikasi untuk para ulama dan kyai.Kalau guru disertifikasi jelas ada
undang-undangnya, kalau ulama dan kyai lembaga mana yang akan melakukan
sertifikasi,". Ulama bukan seperti
guru (penanda profesi) ataupun obat ( berdasarkan kualitas). Bila ulama
dijadikan objek penilaian kelayakan berkenaan tentang pemantapan ilmu agamanya,
terus siapa yang akan menjadi juru penilai.
Penolakan juga disampaikan Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran
Bulak Santri, Cipondoh, Yusuf Mansur. Beliau berkata “Persoalannya yang
mengsertifikasi itu siapa, siapa sih yang pengen gelar manusia,” Menurutnya,
sebutan ulama tersebut sebenarnya datang dari masyarakat yang dilekatkan kepada
orang yang memahami, mengamalkan, dan mengajarkan agama Islam. “Menurut saya
jadi masalah itu bukan minta pengakuan. Ulama itu dilekatkan.
3. Problema
sertifikasi ulama
Pertama, ulama secara formal bukanlah bagian dari aparatur Negara.
Pemuka agama, ulama, kiai atau apapun istililahnya adalah sosok yang dinobatkan
oleh masyarakat. Di sini penyemat “gelar” tersebut adalah masyarakat bukan
pemerintah. KH. Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU menyatakan bahwasanya ulama
atau kiai adalah milik masyarakat bukan Negara. kedua, dari segi kuantitas,
sangatlah sulit mengidentifikasi kiayi atau ulama, mereka tersebar di seluruh
penjuru nusantara, jumlah pemuka agama Islam luar biasa jumlahnya. Bila ulama
ini kita batasi pda kiayi mushalla atau surau maka jumlahnya bisa jdi 5 kali
lipat dengan jumlah surau yang tersebar di seluruh nusantara. Rasionya, hamper
setiap desa berpenduduk muslim, setidaknya memiliki 10 – 20 mushollah setiap
desa.
Ketiga, sertifikasi harus berimplikasi pada pemberian hak. Kalau
kita analogikan dengan guru, maka harus ada tunjangan terhadap profesi yang
diberikan kepada ulama. Hal ini bukan hanya berimplikasi pada administrasi dan
keuangan Negara, tetapi juga orientasi dakwah ulama. Selama ini banyak ulama
yang mempunyai prinsip ikhlas dan pengabdian. Jika sertifikasi ini dilakukan,
maka tidak menutup kemungkinan akan menggeser niat dan orientasi dakwah Islam.
Adapun Sisi positifnya, bisa menyeleksi mana yang ulama beneran
mana yang tidak. Sedangkan Sisi negatifnya, (1) akan membuka peluang
sertifikasi sebagai kontrol dari institusi tertentu kepada pemuka agama. Ulama
akan diberi sertifikat oleh institusi tertentu. Lantas, bagaimana dengan ulama
yang tidak memiliki sertifikat. (2) semakin memperkeruh hubungan antara
kelompok ulama dengan pemerintah. Sebagaiman yang dinyatakan Ketua Forum Ulama
Umat Indonesia (FU7UI), KH Athian Ali M Da’i menilai ide tersebut. (3) Dengan ide itu seakan-akan para ulama menjadi
dalang dari adanya aksi terorisme di Indonesia, kata Athian Ali. (4) akan
timbul kerusuhan, karena selama ini para ulama sudah bersabar sekian lama
karena kerap dituding terlibat dalam kasus-kasus terorisme di Indonesia.
Kemudian muncul ide harus diadakannya sertifikasi bagi para ulama dari BNPT,
menurutnya sudah sangat menghina dan melecehkan para ulama.
Adapun solusinya untuk menekan radikalisme dan terorisme
diantaranya melalui penegakan hukum, peningkatan pengetahuan, pendidikan,
kesejahteraan.
Kesimpulan
Otoritas sosial memilki arti secara bahasa dan istilah, secara
bahasa terdiri dari dua kata otoritas yang berarti kekuasaan dan sosial yang
berarti segala sesatu yang mengenai masyarakat. Sedangkan menurut istilah
adalah segala bentuk kekuasaan yang terjadi di masyarakat baik dalam lingkup
yang sempit maupun dalam lingkup yang luas.
Otoritas sosial dalam masyarakat memiliki berbagai macam
diantaranya, tradisional, karismatik, legal rasional dan campuran.
Ulama sebagai otoritas: pewaris para nabi karena mereka memiliki
karakteria yang sesuai dengan syariat Islam yang di bawa oleh para nabi.
Kharamah merupakan salah satu konsep otoritas sebab kharamah hanya
di miliki atau di berikan kepada orang-orang shaleh dan yang sekaligus mereka
sebagai pewaris para nabi.
Wacana sertifikasi
ulama ternyata menuai pro dan kontra, berikut ini adalah alasan-alasan dari
pihak yang dan yang kontra;
1. Alasan adanya pro :
- Pro karena pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana
peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi
- bisa dijadikan antisipasi gerakan radikal seperti terorisme
- menghadang paham terorisme melalui saluran kegamaan
2. Alasan adanya kontra : predikat ulama didapat dari pengakuan
masyarakat, bukan pemerintah. Seseorang disebut ulama jika diakui masyarakat,
sebagai bentuk pelanggaran HAM, di dalam Islam siapa pun dapat menjadi ustadz,
orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah, mengidentikkan ulama
atau ustadz dengan teroris., Dia menjelaskan, sebutan atau gelar kyai, ustadz,
buya, tuan guru dan lainnya bagi ulama adalah gelar yang disematkan masyarakat
sebagai bentuk pengakuan serta penghormatan kepada seseorang yang dinilai dan
diakui keilmuan agamanya, Yang berhak memberikan sertifikasi adalah Allah dan
Rasunya. Persoalannya yang mengsertifikasi itu siapa, siapa sih yang pengen
gelar manusia, Jika sertifikasi ini dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan
akan menggeser niat dan orientasi dakwah Islam.
3. Problema sertifikasi ulama, Pertama, ulama secara formal
bukanlah bagian dari aparatur Negara. kedua, dari segi kuantitas, sangatlah
sulit mengidentifikasi kiayi atau ulama, mereka tersebar di seluruh penjuru
nusantara, jumlah pemuka agama Islam luar biasa jumlahnya. Ketiga, sertifikasi harus
berimplikasi pada pemberian hak.
adakah istilah otoritas dalam Islam?
bentuk otoritas yang mana yang idela menurut Islam?
suatu organisasi akan rusak bilamana tidak berpegang teguh pada
Islam
karamah??
siapa yang memulai? yang melatar belakangi sertifikasi ulama?
[1] Darmawan
Hendro, dkk, Kamus ilmiah populer lengkap, Yogyakarta:Bintang cemerlang,
2010,hlm.519.
[2] Pendapat
Mujahid dan as-Sya’abi
[3] Ramlan
Mardjonet, KH.hasan basri 70 tahun, fungsi ulama dan peranan masjid,
jakarta:media dakwah, 1990,hlm.172-173.
[4] syarah
aqidah wasithiyah hlm:207
[5]
http://temonsoejadi.com/2012/09/11/sertifikasi-ulama-perlukah/, republika.co.id, dakwatuna.com detiknews, www.inilah.comon, wibhttp://nasional.inilah.com/read/detail/1905537/sertifikasi-ulama-kenapa-tidak#.uwpftmefcy4.
http://news.okezone.com/read/2012/09/26/58/695144/menimbang-signifikansi-sertifikasi-ulama. http://www.scribd.com/doc/120237038/sertifikasi-ulama.

0 komentar: