makalah psikologi (FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRILAKU MANUSIA)
MAKALAH
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRILAKU MANUSIA
Sebagai salah satu tugas mata kuliah “Psikologi Komunikasi”
Dosen : Awang Darmawan, S.Sos.I, MM

Disusun oleh :
Muazzir
Encep Suhendri
Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Agama Islam
Fakultas Ibn Khaldun Bogor 2012
Daftar Isi
Pendahuluan
Jumlah manusia di muka bumi ini sangat banyak.
Mereka tersebar diatas permukaan bumi. Satu sama lain memiliki
perbedaan-perbedaan misalnya saja perbedaan prilakunya. Prilaku manusia Negara
satu berbeda dengan prilaku manusia dengan Negara lain, meski perbedaan yang
terjadi sangat kecil. Bahkan adanya perbedaan prilaku tersebut tidak hanya terjadi
antar Negara akan tetapi perbedaan tersebut terjadi pula antar anggota rumah
meski jarak mereka berdekatan.
Terjadinya perbedaan prilaku tersebut karena adanya
beberapa factor yang mempengaruhi. Sedikitnya ada empat factor yang
mempengaruhi prilaku pada manusia. Factor-faktor tersebut adalah factor
biologis, factor sosiopsikologis, factor spiritual dan factor situasional.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Manusia
Manusia memiliki banyak sekali
kebutuhan. Di antaranya ada yang yang bersifat biologis yang
berhubungan dengan
reaksi organ tubuh. Pada umumnya, kebutuhan tersebut muncul untuk memelihara
keseimbangan organik dan kimiawi tubuh. Misalnya saja kekurangan kadar makanan
atau kekurangan kadar air dalam organ tubuh. Ada pula yang bersifat psikologis
dan spiritual. Yang mana di antara kebutuhan ini ada yang bersifat penting dan lazim
yang bertujuan untuk menciptakan rasa aman dan kebahagiaan jiwa.[1] Dari kebutuhan-kebutuhan manusia
tersebut kemudian muncul berbagai macam motivasi yang mendorong manusia untuk
melakukan penyesuaian diri guna memenuhi semua kebutuhan tersebut.a. Faktor Biologis
Sebagai makhluk
hidup, manusia memiliki motivasi biologis untuk mempertahankan eksistensi diri
dan kelangsungan spesies (keturunan). Mereka akan membutuhkan makanan
dan minuman untuk dapat bertahan hidup dan melarikan diri ketika melihat musuh
yang menakutkan serta membutuhkan lawan jenis untuk kegiatan reproduktifnya.[2] Utsman Najati
menjelaskan bahwa kebutuhan seksual sangat erat hubungannya dengan kepentingan
kelangsungan spesies. Sementara itu kepentingan mempertahankan
eksistensi diri dapat terpenuhi melalui kebutuhan yang lainnya.[3] Ketika muncul
dorongan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka kebutuhan tersebut akan
mendorong manusia melakukan upaya adaptasi yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Dengan demikian, munculnya perilaku atas dorongan dari
kebutuhan ini merupakan suatu keniscayaan bagi manusia sebagai makhluk hidup.
Oleh karena itu, motivasi biologis memiliki pengaruh
penting dalam kehidupan manusia. Rasa lapar mampu membuat manusia merasa lelah sepanjang
hidupnya karena mencari sesuap makanan untuk menghilangkan rasa lapar tersebut. Sama halnya dia juga akan merasa
lelah ketika terus berusaha menghilangkan rasa takut yang menghantui
kehidupannya. Oleh karena itu, manusia tidak akan pernah berhenti memburu rasa
aman yang bisa membuat dirinya tenang, tentram dan bahagia.
Di samping itu,
motivasi seksual
juga merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Motivasi
inilah yang memunculkan ketertarikan antara makhluk dengan lawan jenisnya.
Berangkat dari ketertarikan antar jenis ini tercipta sebuah keluarga. Keluarga
akan menghasilkan anak keturunan yang pada gilirannya akan menciptakan sebuah
generasi. Dari siklus seperti ini keberadaan sebuah spesies dapat
dipertahankan. Maka dari itu, demi keberlangsungan hidup manusia motivasi
seksual merupakan hal tidak dapat dihindari dalam kehidupan mereka.
Pada dasarnya
motivasi biologis muncul sebagai akibat tidak adanya keseimbangan organik
maupun kimiawi dalam tubuh manusia. Dalam studi ilmu psikologi modern,
keseimbangan berbagai unsur dalam tubuh manusia disebut dengan istilah homeostatis.
Ketika motivasi itu muncul maka akan mendorong manusia untuk melakukan upaya
adaptasi yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhannya. Upaya pemuasan ini
bertujuan untuk menyeimbangkan kembali kondisi tubuhnya. Oleh karena itu,
Walter Cannon, seorang dokter kebangsaan Amerika berpendapat bahwa tubuh manusia
sebenarnya memiliki kecenderungan yang mengarah kepada upaya penyesuaian diri
guna mempertahankan tingkat konsentrasi dzat dalam tubuh agar tetap konstan (homeostatis).[4]
Walaupun
demikian manusia bukan sekedar makhluk biologis. Kalau sekedar makhluk biologis,
mereka tidak berbeda halnya dengan binatang. dalam pandangan Islam, hubungan
seksual antara suami dan istri bukanlah sekedar untuk mencari kenikmatan dan
kepuasan birahi belaka. Namun hubungan itu lebih bersifat ikatan rasa cinta,
kasih sayang, dan kedamaian yang menyebabkan manusia merasa aman dan tentram.
Hubungan seksual tersebut dianggap sebagai hubungan kemanusiaan yang sarat
dengan ungkapan rasa cinta dan saling menghargai. Islam menyetarakan nilai
hubungan seksual dengan sedekah maupun amal shalih. Oleh karena itu, selain dari
faktor biologis ini masih terdapat berbagai faktor yang dapat memengaruhi
perilaku manusia.
b. Faktor Sosiopsikologis
Sebagai makhluk
sosial, manusia akan memperoleh beberapa karakteristik yang memengaruhi tingkah
lakunya. Faktor karakteristik ini sering disebut sebagai faktor sosiopsikologis
yang dapat memengaruhi perilaku manusia.[5] Jalaludin
Rahmat mengklasifikasikannya ke dalam tiga komponen, yaitu komponen afektif,
kognitif, dan konatif. Komponen pertama merupakan aspek emosional
dari faktor sosiopsikologis. Sementara komponen kognitif adalah aspek
intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Dan komponen konatif adalah aspek visonal
yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.[6]
Komponen
afektif dari faktor sosiopsikologis terdiri dari motif sosiogenesis,
sikap dan emosi. Berikut ini penjelasan Jalaluddin mengenai motif-motif
tersebut:[7]
1)
Motif sosiogenesis
Motif sosiogenesis
merupakan motif sekunder yang dapat memengaruhi perilaku sosial manusia. Secara
singkat, motif-motif sosiogenesis dapat dijelaskan meliputi motif ingin
tahu, yang meliputi mengerti, menata, menduga, motif kompetensi, motif cinta,
motif harga diri dan kebutuhan untu mencari identitas, kebutuhan akan nilai dan
kedambaan akan makna kehidupan serta kebutuhan akan pemenuhan diri.
2)
Sikap
Sikap adalah salah satu konsep dalam psikologi sosial yang paling banyak didefinisikan para
ahli. Ada yang menganggap sikap hanyalah sejenis motif sosiogenesis yang
diperoleh melalui proses belajar. Ada pula yang melihat sikap dengan kesiapan
saraf sebelum memberikan respon. Dari beberapa definisi yang ada, Jalaludin
menyimpulkan beberapa hal berikut: Sikap adalah kecenderungan bertindak,
berpresepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau
nilai, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, relatif lebih menetap
serta mengandung aspek evaluatif dan muncul dari pengalaman.[8]
3)
Emosi
Emosi adalah
kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan
dan proses fisiologis. Coleman dan Hammen mengungkapkan bahwa emosi
dapat berfungsi sebagai pembangkit energi, pembawa informasi tentang diri
seseorang, pembawa pesan kepada orang lain dan sumber informasi tentang
keberhasilan.[9]
Emosi
berbeda-beda dalam hal intensitas dan lamanya. Dari segi intensitasnya ada yang
berat, ringan dan desintegratif. Emosi ringan meningkatkan perhatian seseorang
kepada situasi yang dihadapi disertai dengan perasan tegang sedikit. Emosi kuat
disertai dengan rangsangan fisiologis yang kuat. Dan emosi desintegratif
terjadi dalam intensitas emosi yang memuncak. Sementara dari segi lamanya, ada
emosi yang berlangsung singkat dan ada yang lama. Emosi ini akan mempengaruhi presepsi seseorang atau
penafsiran stimuli yang merangsang alat indra.[10]
Selanjutnya
komponen kognitif dari faktor-faktor sosiopsikologis adalah kepercayaan.
Kepercayaan di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang ghaib. Akan
tetapi hanyalah keyakinan bahwa sesuatu itu ‘benar’ atau ‘salah’ atas dasar
bukti, sugesti otoritas, pengalaman atau intuisi.[16] Dengan demikian
kepercayaan di sini adalah yang memberikan presepsi pada manusia dalam
mempresepsi kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan
menentukan sikap terhadap objek sikap.
Sementara komponen konatif
dari faktor sosiopsikologis terdiri atas kebiasaan dan kemauan.
Jalaludin mendefinisikan kebiasaan sebagai aspek perilaku manusia yang menetap,
berlangsung secara otomatis, tidak direncanakan. Lebih lanjut ia menjelaskan
bahwa kebiasaan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama
atau sebagai reaksi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Sementara
kemauan merupakan usaha seseorang dalam mencapai tujuan.[11] Usaha di sini tentu sangat berkaitan
dengan pengetahuan
seseorang tentang hal yang akan dicapai tersebut.
b. Faktor Spiritual (ruhani)
Selain motivasi biologis dan sosiopsikologis,
manusia juga memiliki motivasi yang bersifat
spiritual. Motivasi ini tidak berkaitan dengan kebutuhan mempertahankan
eksistensi diri atau memelihara kelanggengan spesies. Motivasi spiritual erat
hubungannya dengan upaya memenuhi kebutuhan jiwa dan ruh. Sekalipun demikian,
motivasi ini juga menjadi kebutuhan pokok manusia. Karena motivasi inilah yang
bisa memberikan kepuasan hidup, rasa aman, tentram, dan bahagia.
Di antara
beberapa motivasi spiritual yang penting dalam kehidupan manusia adalah
motivasi beragama. Dalam bukunya Psikologi Agama, Jalaluddin
mengatakan bahwa:
“Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa sesungguhnya
apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada
kebutuhan makan, minun, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Berdasarkan hasil hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa
pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat
universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi
kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.”[12]
Oleh sebab itu, dalam pandangan Islam
secara fitrah manusia sejak dilahirkan memiliki potensi keberagamaan. Namun
potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa kecenderungan untuk
tunduk dan mengabdi kepada sesuatu. Allah subhanallahu wa ta’ala telah
mengisyaratkan adanya potensi dasar yang dimiliki manusia untuk beragama dalam firman-Nya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah[19] Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[13]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي
آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".[14]
Melalui ayat tersebut Allah subhanallahu wa ta’ala menerangkan
bahwa Dia telah mengadakan perjanjian dengan anak keturunan Adam. Allah subhanallahu
wa ta’ala mengambil persaksian mereka atas kemahakuasaan-Nya, yakni ketika
mereka berada di alam ruh sebelum diciptakan di alam bumi. Oleh karena itu,
pada hari kiamat nanti mereka tidak akan bisa mengingkari keesaan Allah. Dengan
perkataan lain, ayat ini menerangkan bahwa manusia dilahirkan dengan memiliki
kesiapan secara fitrah untuk beragama, mengenal Allah, beriman dan
mentauhidkan-Nya.
d. Faktor Situasional
Perilaku manusia terkadang juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Faktor ini
sering disebut sebagai faktor situasional. Secara garis besar, faktor ini
dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu aspek-aspek objektif dari lingkungan,
lingkungan psikososial dan stimuli yang mendorong dan memperteguh
perilaku.[15]
Sementara faktor-faktor sosial yang memengaruhi perilaku manusia
terdiri atas sistem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur
kelompok dan organisasi dan karakteristik populasi. Dalam organisasi, hubungan
antar anggota dan ketua diatur oleh sistem peranan dan norma-norma kelompok.
Besar kecilnya organisasi akan memengaruhi jaringan komunikasi dan sistem
pengambilan keputusan. Karakteristik populasi seperti usia, kecerdasan,
karakteristik biologis memengaruhi pola-pola perilaku anggota-anggota populasi
itu.
Presepsi seseorang tentang lingkungan
akan memengaruhi perilakunya dalam lilngkungan itu. Lingkungan lazim disebut
dengan iklim. Dalam organisasi, iklim psikososial menunjukkan presepsi orang
tentang kebebasan individual, ketetapan pengawasan, kemungkinan kemajuan, dan
tingkat keakraban. Dalam studi komunikasi organisasi menunjukkan bagaimana
iklim organisasi memengaruhi hubungan komunikasi antara atasan dan bawahan,
atau di antara orang-orang yang menduduki posisi sama. Dalam perkembangannya,
kemudian para antropolog memperluas istilah iklim ke dalam masyarakat secara
keseluruhan. Sehingga muncullah pendapat bahwa pola-pola kebudayaan yang
dominan, ideologi dan nilai dalam presepsi anggota masyarakat mampu memengaruhi
perilaku sosial.
Faktor-faktor situasional di atas, tidaklah mengesampingkan
faktor-faktor personal yang dimiliki seseorang. Namun demikian juga tidak dapat
dipungkiri besarnya pengaruh situasi dalam menentukan perilaku manusia. Perlu
disadari bahwa manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi
yang dihadapi sesuai dengan karakteristik personal yang dimilikinya. Dengan
perkataan lain perilaku manusia merupakan hasil interaksi antara keunikan
individu dengan keumuman situasional.
Kesimpulan
Perilaku manusia di muka bumi ini ternyata
berbeda-beda. Terjadinya perbedaan ini karena ada factor-faktor yang
mempengaruhinya. Sedikitnya ada empat factor yang mempengaruhi prilaku manusia.
Keempat factor ini yaitu, factor biologis, factor sosiopsikologis, factor
spiritual dan factor situasional.
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan
manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Dalam factor
sosiopologis proses sosial seseorang akan membentuk beberapa karakter yang
akhirnya mempengaruhi perilakunya. Karakter ini terdiri dari tiga komponen
yaitu komponen afektif, kognitf dan komponen konatif. Selain Faktor biologis dan sosiopsikologis,
manusia juga dipengaruhi oleh faktor spiritual. faktor spiritual ini erat hubungannya dengan upaya memenuhi
kebutuhan jiwa dan ruh. Perilaku manusia terkadang juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Faktor ini
sering disebut sebagai faktor situasional.
[4] Cannon W.B, The Wisdom of The
Body, (New York: Noton, 1932), dikutip tidak langsung oleh Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadits...
[9] Coleman J.C. dan C.L. Hammen, Contemporary
Psychologi and Effective Behavior, Glenview: Scott, Foresman and Co, 1974),
hlm. 462, dikutip tidak langsung oleh Jalaludin
Rakhmat, Psikologi
Komunikasi....
[15] Edward G.
Sampson, Social Psychology and
Contemporary Society, (Toronto: John Wiley & Sons, Inc, 1976), dikutip
tidak langsung oleh Jalaludin Rakhmat, Psikologi
Komunikasi....

0 komentar: